Apakah Kemenag Berwenang Melarang PNS Menggunakan Celana Cingkrang?

    Pertanyaan

    Menteri Agama beberapa waktu lalu menyatakan bahwa lebih baik PNS bercelana cingkrang keluar dari instansi pemerintahan. Apakah ada aturan yang memang melarang penggunaan celana cingkrang? Cingkrang yang saya maksud adalah celana dengan potongan di atas mata kaki, atau sejajar mata kaki.

    Intisari Jawaban

    Kementerian Agama (Kemenag) tidak berwenang merumuskan kebijakan yang berlaku umum bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di seluruh instansi pemerintahan, termasuk melarang penggunaan celana cingkrang. Selain itu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan peraturan perundang-undangan terkait juga tidak memuat larangan penggunaan celana cingkrang.

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda lihat pada ulasan di bawah ini.



    Ulasan Jawaban :

    “Cingkrang” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (“KBBI Daring”) diartikan sebagai “terlalu pendek”. Berdasarkan penelusuran kami, istilah tersebut mendeskripsikan potongan celana panjang yang tidak melebihi mata kaki.

    Wewenang Kementerian Agama

    Ada perlunya kita membahas terlebih dahulu mengenai batasan wewenang Kementerian Agama dalam mengurusi urusan kepegawaian sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2015 tentang Kementerian Agama (“Perpres 83/2015”).
    Kementerian Agama yang mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara memiliki fungsi:[1]
    1. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang bimbingan masyarakat Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu, penyelenggaraan haji dan umrah, dan pendidikan agama dan keagamaan;
    2. koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Agama;
    3. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Agama;
    4. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Agama;
    5. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Agama di daerah;
    6. pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah;
    7. pelaksanaan pendidikan, pelatihan, penelitian, dan pengembangan di bidang agama dan keagamaan;
    8. pelaksanaan penyelenggaraan jaminan produk halal; dan
    9. pelaksanaan dukungan substantif kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Agama.
    Uraian tersebut menunjukkan bahwa Kementerian Agama tidak berwenang mengurus masalah disiplin Pegawai Negeri Sipil (“PNS”) maupun menetapkan kebijakan umum yang berlaku bagi seluruh PNS.
    Selain itu, dalam kelembagaan Kementerian Agama terdapat pranata Sekretariat Jenderal yang memiliki fungsi, di antaranya:
    1. Pembinaan dan pemberian dukungan administrasi yang meliputi ketatausahaan, kepegawaian, keuangan, kerumahtanggaan, kerja sama, hubungan masyarakat, arsip, dan dokumentasi Kementerian Agama;[2]
    2. Pembinaan dan penataan organisasi dan tata laksana.[3]
    Berdasarkan uraian fungsi Kementerian Agama dan Sekretariat Jenderal, menurut hemat kami, Kementerian Agama hanya berwenang membina kepegawaian dalam lingkungan Kementerian Agama.
    Kementerian yang berwenang menetapkan kebijakan kepegawaian yang dapat berlaku secara umum adalah Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Hal ini sebagaimana tergambar dalam Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2015 tentang Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang menerangkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menyelenggarakan fungsi:
    1. perumusan dan penetapan kebijakan di bidang reformasi birokrasi, akuntabilitas aparatur dan pengawasan, kelembagaan dan tata laksana, sumber daya manusia aparatur, dan pelayanan publik;
    2. koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidang reformasi birokrasi, akuntabilitas aparatur dan pengawasan, kelembagaan dan tata laksana, sumber daya manusia aparatur, dan pelayanan publik;
    3. koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi;
    4. koordinasi pelaksanaan supervisi dan pengawasan penyelenggaraan administrasi pemerintahan;
    5. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi; dan
    6. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
    Lembaga lain yang berwenang dalam mengawasi pelaksanaan manajemen PNS secara umum adalah Badan Kepegawaian Negara (“BKN”). Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”) mengatur bahwa:
    BKN memiliki fungsi:
    1. pembinaan penyelenggaraan Manajemen ASN;
    2. penyelenggaraan Manajemen ASN dalam bidang pertimbangan teknis formasi, pengadaan, perpindahan antar instansi, persetujuan kenaikan pangkat, pensiun; dan
    3. penyimpanan informasi Pegawai ASN yang telah dimutakhirkan oleh Instansi Pemerintah serta bertanggung jawab atas pengelolaan dan pengembangan Sistem Informasi ASN.
    BKN juga memiliki tugas yang diatur dalam Pasal 48 UU ASN. Pasal tersebut selengkapnya berbunyi:
    BKN bertugas:
    1. mengendalikan seleksi calon Pegawai ASN;
    2. membina dan menyelenggarakan penilaian kompetensi serta mengevaluasi pelaksanaan penilaian kinerja Pegawai ASN oleh Instansi Pemerintah;
    3. membina Jabatan Fungsional di bidang kepegawaian;
    4. mengelola dan mengembangkan sistem informasi kepegawaian ASN berbasis kompetensi didukung oleh sistem informasi kearsipan yang komprehensif;
    5. menyusun norma, standar, dan prosedur teknis pelaksanaan kebijakan Manajemen ASN;
    6. menyelenggarakan administrasi kepegawaian ASN; dan
    7. mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan norma, standar, dan prosedur manajemen kepegawaian ASN.
    Selain itu, Pasal 54 UU ASN mengatur bahwa:
      1. Presiden dapat mendelegasikan kewenangan pembinaan Manajemen ASN kepada Pejabat yang Berwenang di kementerian, sekretaris jenderal/sekretariat lembaga negara, sekretariat lembaga nonstruktural, sekretaris daerah provinsi dan kabupaten/kota.
      2. Pejabat yang Berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam menjalankan fungsi Manajemen ASN di Instansi Pemerintah berdasarkan Sistem Merit dan berkonsultasi dengan Pejabat Pembina Kepegawaian di instansi masing-masing.
      3. Pejabat yang Berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memberikan rekomendasi usulan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian di instansi masing-masing.
      4. Pejabat yang Berwenang mengusulkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pejabat Administrasi dan Pejabat Fungsional kepada Pejabat Pembina Kepegawaian di instansi masing-masing.
    Berdasarkan bunyi pasal tersebut, wewenang pembinaan kepegawaian pada setiap instansi berada di tangan instansi itu sendiri berdasarkan rekomendasi dan konsultasi dari BKN.

    Ketentuan tentang Celana Cingkrang

    UU ASN tidak mengatur mengenai larangan bagi PNS untuk menggunakan pakaian tertentu. Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (“PP 53/2010”) pun hanya terdapat larangan bagi PNS untuk memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS.[4] Yang dimaksud dengan “menggunakan atribut PNS” dalam ketentuan tersebut adalah seperti menggunakan seragam Korpri, seragam dinas, kendaraan dinas, dan lain-lain.[5]
    Pengaturan lebih lanjut mengenai seragam PNS kemudian diserahkan kepada instansi masing-masing. Kami akan mencontohkan ketentuan mengenai pakaian PNS di lingkungan Kementerian Dalam Negeri (“Kemendagri”) dan pemerintah daerah (“Pemda”) yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2016 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 60 Tahun 2007 tentang Pakaian Dinas Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah (“Permendagri 6/2016”).
    Pasal 2 ayat (1), (2), dan (3) Permendagri 6/2016 mengatur bahwa:
    1. Pakaian Dinas di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri terdiri dari:
      1. Pakaian Dinas Harian disingkat PDH, terdiri dari:
        1. PDH Warna khaki;
        2. PDH Kemeja putih, celana/rok hitam atau gelap; dan
        3. PDH Batik.
      2. Pakaian Sipil Harian disingkat PSH;
      3. Pakaian Sipil Resmi disingkat PSR; dan
      4. Pakaian Sipil Lengkap disingkat PSL.
    2. Pakaian Dinas di Lingkungan Pemerintah Provinsi terdiri dari:
      1. Pakaian Dinas Harian disingkat PDH, terdiri dari:
        1. PDH Warna khaki;
        2. PDH Kemeja putih, celana/rok hitam atau gelap; dan
        3. PDH Batik/Tenun/Pakaian khas daerah.
      2. Pakaian Sipil Harian disingkat PSH;
      3. Pakaian Sipil Resmi disingkat PSR;
      4. Pakaian Sipil Lengkap disingkat PSL; dan
      5. Pakaian Dinas Lapangan disingkat PDL.
    3. Pakaian Dinas di Lingkungan Pemerintah Kabupaten/Kota terdiri dari:
      1. Pakaian Dinas Harian disingkat PDH, terdiri dari:
        1. PDH Warna khaki;
        2. PDH Kemeja putih, celana/rok hitam atau gelap; dan
        3. PDH Batik/Tenun/Pakaian khas daerah.
      2. Pakaian Sipil Harian disingkat PSH;
      3. Pakaian Sipil Resmi disingkat PSR;
      4. Pakaian Sipil Lengkap disingkat PSL;
      5. Pakaian Dinas Lapangan disingkat PDL;
      6. Pakaian Dinas Harian disingkat PDH Camat dan Lurah; dan
      7. Pakaian Dinas Upacara disingkat PDU Camat dan Lurah.
    Peraturan tersebut tidak menguraikan adanya larangan mengenai potongan celana cingkrang sebagaimana yang Anda maksud. Meskipun demikian, Lampiran Permendagri 6/2016 menentukan model pakaian dinas yang menjadi rujukan bagi para PNS di lingkungan Kemendagri dan pemda, di antaranya:
    Menurut hemat kami, penggunaan celana cingkrang atau potongan celana panjang yang memiliki panjang tidak melebihi mata kaki, pada dasarnya tidak bertentangan dengan hukum.
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara;
    2. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil;
    3. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2015 tentang Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi;
    4. Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2015 tentang Kementerian Agama;
    5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 60 Tahun 2007 tentang Pakaian Dinas Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah, sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2016 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 60 Tahun 2007 tentang Pakaian Dinas Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah.


    Dijawab Oleh : 

    Arasy Pradana A. Azis, S.H., M.H.
    Via hukumonline.com 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH PERMAINAN BOLA BASKET

Sejarah Permainan Sepak Bola

Teknik Dasar Bola Basket